Something as abstract as beauty is not two dimensional like the text you are reading right now. How does one even define beauty. Something divine ordained by none other than God themself? Something that is simply pleasurable to percieve? Perhaps something entirely different to each person? To Roni Buya, the mastermind behind Fragments one and two, beauty can be extracted from the most ordinary of places. Graffiti-esque, his art often resembles the chaotic solutions of individual expression and retalliation we see on the streets of urban mania we call home. Urban mania where ideas, dreams and nightmares are birthed, live and die, each passing day becoming more complex than the last as we travel across the indefinite arrow of time.
Melihat bentuk visual dan benda keseharian di lingkungan sekitar menjadi pemicu bagi saya untuk menuangkan kedalam media rupa. Bentuk bentuk visual sehari-hari ini kemudian saya mencoba merepresentasikan ulang kedalam media dua dimensi. Bagi saya keindahan tidak melulu berbicara tentang kebagusan secara konvensional. Bahkan semua yang di ciptakan tuhan di muka bumi ini semuanya adalah keindahan. Namun terkadang kita menilai keindahan dari sudut pandang tertentu saja,Salah satunya adalah bentuk dinding. Dinding yang sering kita lihat di pinggiran dengan berbagai bentuk tekstur, warna hingga coretan, maupun tempelan-tempelan famplet merupakan komposisi yang sangat estetik bagi saya. Dinding sendiri merupakan kepingan-kepingan alam itu sendiri. Kemudian dinding merupakan sebuah metaphor bagi saya, dari ber-tumbuhnya siklus kehidupan yang ada di muka bumi ini. Dengan bertumbuhnya siklus kehidupan lalu pergeseran-pergeseran bentangan alam, hijau alam akan berkomposisi dengan kepingan-kepingan bangunan buatan, dengan tumbuhnya beton-beton buatan menandakan terjadinya kehidupan, serta akan muncul bentuk peradaban, kebudyaan yang baru tentunya.